Tag Archive: Story


Si Gadis Mungil


Hari itu hari libur dan cuaca sangat cerah. Aku bangun lebih cepat dari biasanya. Semua itu kulakukan karena aku ini ingin sekali bermain dengan seorang temanku. Sama seperti kalian juga. Suka bermain dan bercanda kan ?  Namanya juga kita masih kanak-kanak. Ya nggak……..,ya nggak………?!

Hai sahabat, yang lagi membaca tulisanku ini atau yang mendengarkan kisahku yang dibacakan mama dan papa di rumah, aku bangun tadi karena …….. Sudah tahu kan ? Kawanku adalah seorang gadis yang sungguh …..cantik.  Betul teman-teman. Matanya…. waduh, indah menawan gejolak jiwaku. Mau tahu lagi ……..? Alis matanya bagus dan bulu matanya lentik. Cek….cek……….! Rambutnya meliku-liku. Aku sangat senang bermain dengannya karena dia anak yang baik.

Temanku adalah Afriana Dameria. Ia tinggal di dusun terpencil bersama neneknya. Nah, kawan-kawan, meskipun dusun itu terpencil, namun masyarakatnya hidup rukun penuh kedamaian. Termasuk mereka yang diam di pondok kecil.

Hari-hari kawanku sangatlah riang, tetapi saat ini tidaklah.

“ Kenapa dia ?”

Ia tampak murung dan bersedih hati. Sedihnya merasuk dalam jiwa kewanitaannya. Kawanku sedang memikirkan neneknya yang sudah sangatlah tua.

“ Apa sudah pernah dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa dokter ?”

Ya ……..sudah tentu.

Afriana Dameria sering berdoa untuk kesembuhan neneknya.

“ Wah, bagus itu!”

Itu dilakukannya setiap selesai menghadap dan melaksanakan perintah-Nya. Karena ia tahu, saat ini neneknya adalah orang tua satu-satunya yang diharapkan dapat menolong hidupnya semenjak ditinggal pergi ibu bapaknya untuk selama-lamanya.

Dulu….. ketika orang tuanya masih hidup, mereka cukup senang dan bahagia. Bahkan kehidupan mereka cukup terpandang di dusunnya. Namun kali ini sudah tidak lagi. Nenek dan cucunya itu hidup menderita.

“ Kasihan…………, mengapa bisa begitu ya ?”

Entahlah, tetapi sebenarnyalah hal itu tidak terjadi asalkan kedua ibu bapaknya tidak meninggalkan utang yang melilit pinggang. Kini mereka berdualah yang menanggung derita berkepanjangan. Sedih pilu berbaur menyatu.

Penderitaan yang dialami sahabatku terus bertambah saja, teman. Ia hanya bisa pasrah menatap neneknya yang terbaring kaku tak bergerak lagi. Innalillahi wainnailaihi rajiun. Hanya sepotong doa yang dapat diberikan untuk mengantarkan jenazah nenek ke liang lahat. Mendung yang sedari tadi ditahannya akhirnya mencair juga.

Hari terus berganti tanpa mau kompromi lagi. Duri-duri kehidupan semakin mencabik-cabik dirinya. Wahai pembaca setiaku, bantulah kawanku, sebab ia dirundung malang sepanjang waktu. Hanya satu tekadnya. Ia ingin merantau dan tidak ingin menggantungkan kehidupannya pada orang lain. Ada  rasa enggan di dadanya yang paling dalam. Dengan terpaksa gubuk tempatnya bernaung dari terik mentari dan cucuran hujan digadaikan guna menyambung hidup yang masih panjang.

Dengarlah, Dik. Lolongan anjing kian semarak, cicit anak burung di atas dahan semakin keras meminta disuapi induknya.  Mereka menjerit keras kelak ada yang mendengar rintihan yang membalut wajah-wajah yang butuh pertolongan. Begitulah, si Miskin menjerit namun tertahan dalam relung batinnya sehingga tiada yang mendengarnya.

“ Aku mau menolongnya, bagaimana ?”

“ Aku juga, kasihan dia, hidupnya sendirian dan sebatang kara. Bolehkan kami membantunya walau sekedar kesanggupan kami sendiri ?”

“ Boleh saja, tidak ada salahnya menolong orang lain, tetapi……..”

“ Tetapi apa ….?”

“ Sudah terlambat. Lihatlah, kawanku telah berhasil menggadaikan rumah peninggalan orang tuanya.”

“ Ya ampun…….., harta warisan kok dijual ….??!! “

“ Habis, mau bagaimana lagi ? Mau nongkrong di situ terus tak mungkin lagi. Sanak saudara juga tak punya. Sudah kadung basah ya……sekalian mandi.”

“ Lantas, hasilnya untuk apa ?”

“ O ya, hasil lelangnya digunakan untuk membayar utang sedangkan sisanya untuk biaya hidup di kota. Sungguh pilu hatinya. Tek-tekan yuk, siapa mau ?”

“ Ah, masyarakat desa saja tak sanggup menghalau kepergiannya, apalagi saya.”

“ Sungguh, kita-kita mengkhawatirkan keselamatannya……..!!”

“ Keselamatanku……??!! “ ujar Afriana Dameria heran.

“ Betul  !” jawab kami serempak.

“ Ah, tidak. Tidak usah kalian risaukan kepergianku. Cukup doa yang kuharapkan. Semoga aku selamat di rantau orang, ” pintanya mantap.

Adik-adik manis, teguh sudah pendiriannya bagaikan batu karang di tengah laut yang tidak bergeming walau dihantam badai sekalipun.

Sudah seminggu lamanya kawanku tinggal di perkotaan. Ia pun semakin was-was. Pekerjaan yang diharapkan belum mau menyapanya. Kekhawatirannya kini terus memuncak seakan dunia ini gelap tak bersinar. Uang persediaan hampir habis. Sewa pondok harus tetap dilunasi namun tak lagi tercukupi dari sakunya sendiri. Akhirnya ia merelakan diri untuk menginap di emperan toko.

Malam yang semakin dingin membalut tubuhnya seakan mengajak bercanda. Dinginnya malam yang menusuk-nusuk itu membuatnya semakin gelisah. Anda bagaimana ?  So, pasti enak berselimut tebal, berkasur, dan berbantal. Tidak bertiriskan hujan dan terpaan angin malam. Bukankah begitu ?  Apalagi hujan turun semakin deras seperti sekarang ini. Anu, Dik, badan kawanku yang mungil coba dilindungi dengan kain sarung, namun masih juga dingin. Ah…….., dengusnya.

Untunglah masih ada orang yang beriba hati. Tak tega melihat temanku si Kecil menanggung derita berkepanjangan di situ.

“ Siapa dia ?”

“ Makhluk halus kali .”

“ Bukan, bukan siapa-siapa, tetapi……..”

“ Tetapi siapa ?”

“ Dia hanya seorang penjual dan penyemir sepatu, menawarkan jasa baiknya. Ya , dia seorang wanita. Setelah berkenalan beberapa saat, mereka berdua tertidur di emperan toko dalam satu selimut. Nah teman-teman, hal itu berlangsung cukup lama. Menyemir sepatu adalah tugasnya sekarang.”

Beberapa tahun kemudian, pada pagi hari, ketika ia terlepas dari melambungkan tubuhnya, berdirilah seseorang di depannya.

“ Orang nakalkah dia ?”

“ Tidak.”

“ Makhluk aneh ?”

“ Tidak.”

“ Dewa penolong ?”

“ Mungkin juga.”

“ Seperti apa dianya ?”

“ Seperti kita juga. Tubuhnya tegap, berkumis lebat, dan mukanya menyeramkan.”

“ Hiiiiiii, ngeri……..!”

“ Kamu tidak usah takut kepadanya. Dia orang baik-baik. Tidak nakal seperti dugaan kalian.”

Sesaat kemudian.

“ Kau dari mana, Nak ? “ sapanya lembut. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tidak percaya terhadap  apa yang dilihatnya.

” Kau terlalu pagi untuk menanggung beban hidupmu. Apalagi kamu seorang wanita,” katanya lagi setelah lelaki itu mendengarkan cerita temanku.

Afriana Dameria dibawa dan diasuhnya. Sejak saat itu ia dan rekannya satu selimut diangkat menjadi anak angkat. Hidup serba kecukupan di rumah besar dan mewah. Di rumah orang berpangkat berhati mulia. Dengan senang hati dermawan itu menyekolahkan keduanya.

“ Baik benar dia ya, Kak ?”

“ Begitulah tandanya orang yang tahu mengucapkan terimakasih dan senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepadanya.”

Adik-adik, terakhir kali barulah diketahuinya bahwa orang yang telah menyelamatkan hidup kawanku tadi adalah teman akrab ayah Afriana semasa di sekolah dulu. Bahagia dia sebagaimana rekannya yang lain menikmati hidup ini.


Istana megah tampak kokoh tak goyah meski dihantam guntur, guruh, atau apa saja bagai gemuruh  menggelegar sekalipun. Ya hari itu kemilau cahaya silih berganti menghiasi permukaan alam istana yang begitu luas. Kemerduan irama music terus mengalun tanpa pernah berhenti. Makanan berjibun dan bertaburan, berserakan dalam wadah berhiaskan permata dan kilauan emas menanti insan-insan pilihan untuk mencicipinya. Minuman dan segala minuman terlezat terhidangkan di atas dipan-dipan antic penuh pesona. Lengkap dengan penjaga istana yang begitu patuh terhadap titah Sang Raja. Semua gembira, bersyukur, sepanjang waktu pada Raja yang adil, tanpa pernah pilih kasih, yang sayang meskipun ia tidak disayangi, yang rela memberikan semua miliknya meskipun rakyatnya banyak yang tak rela padanya.

Sang Raja duduk di singgasananya yang agung lengkap dengan segala kebesarannya. Matanya kerap memandang ke segala penjuru istana dari kejauhan. Tak ada satu pandangan pun yang luput dari sorot matanya yang begitu tajam. Dia terus memperhatikan suasana yang tengah terjadi di istana kerajaannya. Namun tak sepatah suara pun dikeluarkannya. Rakyat pada tunduk nggak berani menatapnya dan patuh atas semua perintah yang telah dikumandangkan di seantero kekuasaannya.

Di istana yang begitu mempesona, rakyat tentram hidupnya, serba ada, dan tidak kekurangan. Berbilang  tahun mereka hidup begitu. Tiada merasa resah dan gelisah, tiada susah yang membalut jiwa. Tiada yang merasakan sakit. Semuanya sembuh, sebab Sang Rajalah yang senantiasa menjaga kesehatan rakyatnya. Apa yang mereka harap sudah ada di depan mata. Mereka taklah perlu berlama-lama memohon. Waktu ini bermohon, waktu ini pula diberi. Yang mereka inginkan tetap dipenuhi oleh Sang Raja.

Seorang rakyat jelata, miskin lagi dina papa, tak memiliki harta dan kekayaan, buta mata karena tidak pernah mengenyam pendidikan, datang menghampiri Sang Raja sembari merebahkan diri menjunjung tinggi rasa hormat, pujian, dan sanjungan. Kepala didongakkan sembari memohon segala keperluan. Mulut berkomat kamit tiada henti. Berulang kali, berulang kali, dan berulang kali sampai Sang Raja menerimanya dengan ridho.

“Ampunkan hamba Rajaku, hamba telah lancang menghadap ke mari, hamba takut salah langkah dan bicara !” ucap lelaki kere itu penuh ketakutan. Tubuhnya gemetaran, degup jantungnya berdetak kencang melebihi kecepatan mobil patroli jalan raya. Menggigil kayak orang yang sedang kesakitan berbilang tahun.

“Utarakan apa maksudmu. Semua yang kau ingin katakan, kan kuterima dengan senang hati. Aku akan memenuhinya,” ucap Sang Raja meyakinkan.

“Hamba takut nggak bisa memegang amanah yang Raja berikan nantinya. Hamba minta keringanan wahai Rajaku….aku mohon, Raja ….!” mohon lelaki kere.

“Ya, baiklah, semuanya kan kupenuhi,” balas Raja.

“Ampunkan hamba, Raja. Ampun………jangan Raja timpakan lagi beban untukku, beban di pundakku ini sudah berat sekali, jangan tambah lagi, Raja…!”

“Jika begitu, sekarang kuberikan jalan bagimu, jalan kemudahan. Berangkatlah kamu sekarang ke tempat yang jauh, kau harus mengarungi samudera yang amat luas ini. Jika telah sampai di seberang nanti, kau akan mendapatkan kesenangan baru, yakinkanlah itu pada dirimu, mudah-mudahan saja engkau selamat sampai di tempat tujuan !” ucap Sang Raja.

“Puji syukur, terima kasih…..terimakasih……., Raja !”

Di hari yang telah ditentukan, berangkatlah orang kere itu. Dia sendiri saja. Tak serorang pun yang menyertai kepergiannya. Cuma satu yang ada dalam dirinya, tekad bulat untuk mengubah nasibnya kelak di rantau orang. Bekal yang dibawanya sudah cukup buat di perjalanan. Perjalanan yang ditempuhnya pun jauh sekali. Dia nggak tahu berapa jauh perjalanan itu. Waktunya juga cukup lama. Sampailah akhirnya ia di sebuah dermaga yang bagus dan belum pernah ia temukan waktu di istana dulu.

Segeralah ia menambatkan kapalnya di situ. Asing sekali. Tak ada satu makhluk pun yang mengenalnya. Namun ada kebanggaan melekat di hatinya. Walau asing, mereka tampak tersenyum menyambut kedatangannya. Waou………..senang rasanya bisa disambut demikian hangat.

Setelah perjalanan jauh yang amat gelap, penuh rintangan dan tantangan berhasil   dilaluinya dengan sukses, kini ia menemukan tempat yang baru. Di tempat ini banyak sekali pemandangan indah, gaya hidup yang berbeda satu dengan lainnya, pola piker rakyat yang tak pernah sama, keinginan yang kerap menimbulkan gunjang ganjing, adu kekuatan yang saling mengalahkan, bahkan sepak terjang segala cara ia temukan. Di sini, lukisan-lukisan indah itu kerap mengahantui hidupnya. Sepertinya ia tak percaya lagi dengan apa yang dilihatnya. Duri dan kerikil tajam lagi runcing itu niscaya akan menghancurkan kehidupannya kalau saja ia tak mampu menghalaunya jauh-jauh. Ya silap mata pecah kepala. Jika tak mampu memilah-milah, godam besar siap menimpa tubuhnya sendiri.

“Ouh….., luar biasa, menggoda, merayu, meninabobokkan, kejam, kasar, mengerikan, Raja…..!”teriaknya sendiri.

“Itu adalah godaan bagimu, jika kau ingat janjimu dulu, niscaya godaan itu kan bisa kauhindari !” bisik suara kecil di daun telinganya.

Lelaki kere itu celingak-celinguk mencari tahu dari mana asal suara itu. Matanya tak terkedipkan, diputarnya tubuh mungilnya berulang kali, tetapi nggak ada yang dilihatnya. Bulu kuduknya pun mulai tegak, dingin sekujur tubuh, dan keringat besar-besar keluar dari lubang pori-porinya.

“Subhanallah, ada yang mendengar suaraku. Tetapi……..”

“Engkau tak usah takut, aku di sini, di sampingmu…!”

Ketakutannya pun kian meninggi. Jika mungkin, gunung –gemunung itu pun bisa didakinya saat itu. Jika tak kuat, mungkin ia sudah  lari terbirit-birit, tembok kekar di depannya pun niscaya tak dihiruaukannya kemudian.

Langkahnya terhenti sektika. Bening matanya memancarkan kepastian. Lalu, matanya berbalik arah, tidak lagi ke kanan kiri, melainkan dia dongakkan ke atas sembari berucap lirih. Raja, engkaukah yang datang kepadaku tadi? Kata-kata itu terus menghantui dirinya sendiri, hingga akhirnya ia menemukan sesuatu di keramaian kampong.

“Ou…..ou………, cantik benar gadis ini. Baru kali ini kulihat seperti ini. Kulitnya putih, rambutnya panjang terurai, ikal lagi, cek ile………!” ucapnya sendiri. Kedua bola mata bundarnya tak henti-hentinya menatap sosok gadis yang melintas di depannya. Langkah gadis itu makin cepat dan dia pun ikut cepat juga. Dikuntitnya terus gadis itu hingga di tikungan jalan.

Keduanya berkenalan, bercerita panjang lebar sampai mentari terbenam silih berganti dengan siang dan malam. Insan lain jenis itu pun seketika sepakat menyatukan jiwa menyambung hidup lebih panjang. Mereka berpesta menyambut hidup baru. Berupaya keras menyingsingkan lengan baju mengisi kehidupan yang telah digariskan.

Tak berapa lama kemudian.

Lelaki kere itu amat bahagia melihat buah hatinya telah jadi orang dan hidup berkecukupan. Yang sulung si Tada orang terpandang di kampungnya. Sekolahnya tinggi, sarjana pun telah diraihnya. Hartanya berlimpah, sawahnya luas membentang berbilang kampong. Wou, rumahnya besar bagai istana kerajaan. Anak tengahnya si Anri gadis yang tengah naik daun. Di sekeliling jemarinya melingkar benda kuning yang juga banyak. Pakaiannya pun luar biasa, serba buatan luar negeri. Gayanya memang jempolan, nggak ingin dikira orang tak mengenal kemajuan. Pokoknya serba wah. Sementara si bungsu Aso hanyalah orang kecil, hidupnya pun biasa saja. Dia nggak royal pada kekayaan, pemurah lagi dermawan, siap membantu orang yang menjemput jiwanya. Ringan tangan bukan main. Berdecak kagum orang dibuatnya, namun ia tetap bersahaja dengan kebiasaannya yang amat sederhana.

Pagi buta, siang bahkan juga malam, setiap harinya, si Aso kerap membangunkan seluruh warga. Lewat getar-getar suaranya yang khas, anak itu terus mengumandangkan azan memanggil orang tuk bersujud pada Yang Kuasa. Dia berharap semoga memetik hasil yang lebih baik dari apa yang diusahakan hari ini. Itulah sepenggal doa yang senantiasa terucapkan saat selesai mengabdi pada Rabbul Izzati.

“Hei,So, ayo ikut kami ke pesta….!” teriak Tada.

“Bener, So, ntar kalau kamu nggak ikut, ruginya luar biasa..!” timpal si Anri.

“Emang mau ke mana? Necis kali kalian, aku sih nggak punya baju kayak yang kalian pakai. Apalagi pakai manik-manik segala, kantong kalian juga tebal, kalau aku sih nggak punya.., nggak ah, mendingan aku di rumah sama bapak aja, kasihan kan sudah tua..!” sahut Aso merendah.

“Ya sudah kalau tidak mau, ntar jangan menyesal…!” ucap keduanya sembari meninggalkan Aso yang asyik membersihkan pekarangan rumah.

Di rumah pesta, Tada dan Anri disuguhi makanan dan minuman yang sungguh lezat. Keduanya menyantap penuh nikmat, minum dan minum lagi. Mereka telah dibuai kemegahan, kenikmatan, keasyikan, tak ingat waktu lagi. Orang-orang berjingkrakan tak karuan, gedebak gedebuk alunan music hingar binger menghentak suasana. Riuh rendah teriakan mereka. Lupa segalanya.

Suatu hari si Kere jatuh sakit. Sepertinya kesembuhan telah mulai menjauh dari kehidupannya. Banyak sudah usaha yang ditempuh, namun tak jua membuahkan hasil. Muka anak sulungnya blingsutan, muka memerah menahan marah, geram rasa hati ingin ditumpahkan, namun diurungkan. Si Tengah juga demikian. Dia jengkel bukan main. Uang telah banyak dikeluarkan, tetapi tak sembuh juga seakan jalan telah tertutup.

“Anakku, di antara kalian bertiga, siapa yang ingin ikut dengan Bapak, kalau mati nanti?” Si Tada dan Anri diam dan menggeleng. Mereka nggak sudi ikut.

“Aku ikut, aku ingin menolong Bapak, kasihan Bapak, ” ucap Aso yakin.

“Kalian kenapa nggak mau ikut?” tanya si Kere kepada dua anaknya yang lain.

“Mereka memang begitu, mereka takut dan nggak mungkin ikut !”  bisik suara kecil.

“Ya sudah, kalau begitu, tinggallah kalian di sini….!”

Seketika itu pula si Kere menghembuskan nafas terakhirnya. Ia pun kembali kepada Illahi. Benar saja, si Aso anak bungsunya memang ikut menemani sampai di kuburnya. Kedua anak yang lain si Tada dan Anri tetap tinggal di dunia. Ya memang harta benda dan anak istri nggak dibawa mati, sedangkan amal sholeh itu yang menyertai jiwa di alam sana.

Si Miskin yang Tak Miskin

Hujan dan panas datang silih berganti, berteman akrab menjalin persaudaraan.Tidak pernah iri hati dan tetap berjalan pada garis hidupnya. Langkahnya pasti buat hujan menyenangkan makhluk penghuni bumi, sedangkan panas mengingatkan tentang bahaya mendatang. Begitu yang dialami dua teman sekota. Cicil hidup dalam kemewahan. Cicit dalam sengsara badan. Keduanya berseteru dalam menuntut ilmu, akrab bermain dan canda.

Sejak kecil Cicil memang terlihat pintar, tetapi tidak bagi Cicit. Ia lambat dalam berfikir, namun bijak dalam mengambil keputusan. Meskipun sedikit telmi, Cicit banyak teman. Ramah sifatnya, murah senyum, dan ringan tangan.

Kemewahan dan kemampuan bikin Cicil pongah. Egonya terus bertambah seiring langkah mencibir-cibir. Rakus harta membalut penuh dalam jiwanya. Sifat buruknya itu pun terbawa hingga ia dewasa dan berkeluarga.

Suatu hari rintik hujan mengguyur bumi. Cicit melanglang buana berteman pancing kesetiaan. Pergi jauh mencari ikan guna memenuhi kebutuhan keluarga. Dia sendiri saja tiada yang menemani. Cuma satu tekadnya, anak-anak tidak sengsara seperti dirinya waktu kecil.

“Tuhan, terimakasih atas rahmat-Mu pada keluarga kami. Biar rumah gubug reyot, beratap rumbia, aku akan mengucapkan syukur pada-Mu. Lindungi kami dari perbuatan merugi !” Begitu doanya dalam khayal panjang saat memancing ikan di kali.

Dia nggak ambil peduli atas cercaan orang.

“Yang penting aku tidak mencaci orang lain,” pikirnya.

Kata-katanya betul. Ketika pulang dari memancing, ia lewat di depan rumah orang yang berduit. Maksudnya hendak beristirahat di bok, namun malang yang diterimanya. Dia dihina karena berpakaian lusuh, koyak-koyak, dan tidak beralas kaki. Mirip gembel yang tak pernah mandi.

Cercaan anak gedongan mengundang si bokap kaya. Orang itu langsung menyerang habis-habisan. Kata-katanya penuh bisa, tajamnya bukan main, menusuk-nusuk bagai duri berlipat-lipat. Anehnya, Cicit malah membalasnya dengan senyum. Ditatapnya wajah tua di depannya. Ia seakan-akan kenal. Kau……..kau…….., lalu si miskin pun menjauh.

Langkah panjangnya bergulir menjejakkan diri di kediaman. Sambutan hangat diterima, hidangan mantap telah tersedia. Lahap makannya, meskipun hanya rebusan daun ubi dan sambal terasi. Tak ada ikan tak juga telur. Sederhana saja, yang penting halal, begitu nasehatnya pada anak dan bini. Semuanya nurut, manut pada bapak bijak berperi.

Ketika makan, datanglah teman lamanya. Kebaikannya tiba-tiba saja muncul. Si kawan diajaknya nyantap. Betapa bahagianya dia. Nggak hanya itu. Cicit membawakan oleh-oleh buat teman dibawa pulang. Ada jeruk, langsat, jambu, dan sekeranjang kelapa. Semuanya didapat dari kebun di belakang rumahnya. Kebun warisan ayah tercinta.

“ Terimakasih, Cit, kalian baik sekali. Aku nggak nyangka kalau kamu masih ingat teman lamamu,” kata si kawan.

“ Biasa kok, selagi ada rezeki, kan tidak baik disantap sendiri,” balas Cicit.

Di tempat lain, gaduh mengukir langit. Kedua belas anak Cicil bingung nggak karuan. Ada suara tangis dan jeritan histeris. Lihatlah, si bokap lagi terbaring tiada daya. Nafasnya pun tinggal satu-satu. Rengeknya bagai anak bayi yang telah sakit berbilang tahun. Ke mana pun ia telah dibawa, namun belum juga sembuh. Duitnya yang menumpuk gunung di bank, tanah berhektar-hektar, dan rumah sewanya ikut ludes untuk membiayai sakitnya, namun sia-sia. Dokter dan dukun manalagi hendak dicari ? Alamak, nasib………!!!

Saat itu masyarakat telah numplek di halaman rumah. Mereka mengelilingi mobil ambulance. Haiiii, sekarat. Muka pucat, tulang-tulang kelihatan bagai tengkorak hidup. Ibarat hidup segan mati pun enggan. Tangannya menggapai-gapai minta tolong.

Cicit yang hendak mancing turun ke situ. Ia mengintip di dekat kaca mobil.

“ Ha…itu………itu……… tu………!” Cicil teriak.

Dokter dan perawat cepat tanggap. Mereka memperhatikan lelaki tua itu.

“ Tolong dia, Pak Tua !” pinta dokter penuh harap.

Si Kere mendekat lalu disentuhnya tangan Cicil.

“ Kau…….., kau yang di depan rumahku, kan ? Kau…..kau si..? “

“ Aku Cicit temanmu. Kau Cicil, kan ?”

“ Ya, oh… maafkan aku. Maafkan……!”

“ Sudah, engkau sudah kumaafkan !” sambut Cicit tenang.

Seketika itu nafasnya  pun hilang. Cicil pergi diringi deraian air mata.

“ Terima kasih, Pak Tua, maafkan kami !” kata anak Cicil dan keluarganya yang lain.

Cicit membalasnya dengan senyum persahabatan. Selamat jalan saudaraku.

Cakrawala berkabut kian tebal menenggelamkan panas siang tadi. Gumpalan awan hitam makin perkasa mengoyak darah insan tak berdaya. Hembusannya menyisir jiwa yang kemudian mengoyak-ngoyak mengajak hengkang sebab kotak suara tak ikut lagi bergetar. Ya anak itu tertunduk lesu tak sanggup berbuat apa-apa. Mulutnya terkatub diam, hanya jemarinya memberi kabar pada orang yang lalu lalang.

“ Jangan salahkan aku………, jangan………, jangan……!!!”  Begitu ungkapnya dari lubuk hati yang paling dalam. Tidak ada yang mendengarnya adik-adik. Tak ada yang peduli atas dukanya. Kalian bagaimana, Dik ? Mereka seakan lupa diri. Lupa segala-galanya. Namun ternyata, Dik, dugaan-dugaan itu jauh dari tempayan yang sesungguhnya.

Si bocah cilik putra tukang becak dan penjual kue, tetap tegar mengarungi samudera yang amat luas ini. Ia tidak gentar badai dan topan, guntur yang melengking-lenking, maupun duri-duri liar yang siap menelan lumat raganya yang kekurangan. Tahu, Dik, apa tekadnya ? Dia diam, tetapi pantang menyerah sebelum bertanding, pantang menyerah sebelum kalah, masih tetap digenggam teguh dari serpihan kasih bapak tersayang.

Adik-adikku manis. Buktinya ketika dia dihina luluh lantak konco sendiri. Meskipun darah telah mendesir keras dan siap memecahkan kepala, si bocah ingusan yang sebaya dengan kalian, tetap sabar sembari memuja Illlahi Rabbi Penguasa Alam Raya. Dia tidak ingin bogem mentah singgah di jidad kawan, sebab anak itu berfikir kesabaran adalah puncak kejayaan.

Suatu ketika bala hampir saja singgah di pundaknya. Entah siapa yang memulai kegaduhan di kelasnya. Kelas yang biasa tenteram dan damai tiba-tiba berubah kegaduhan bagai sebuah peperangan. Jerit dan pekikan teman wanita kian menyulut bara yang belum marak, menyulut-nyulut peperangan utara selatan. Satu sama lain saling bersitegang. Tak ada yang ingin dipojokkan atau dikalahkan. Juga enggan digelar si Tukang Nyolong Roti. Sampai-sampai guru kelas turun tangan menengahi pertikaian. Maklumlah, Dik, roti adalah makanan ringan paling digemari saat itu.

Tampilnya guru yang bijak menyentakkan suasana. Mata kami, mata kalian juga mungkin jika berada di sana, membelalak, hati ciut mengkerut, kuping terasa pedas seperti baru dijewer, dan detak jantung bergerak lebih leluasa, menyeringai, meronta-ronta, berfikir-fikir siapa gerangan biang keladinya. Tak satu pun di antara kami yang beranjak dari bangku. Jangangkan bergerak, bergeser pun tidak, sebab sorot mata guru kami menusuk-nusuk penuh selidik menembus tembok kekar jiwa kami.

Sekonyong-konyong halilintar menggelegar-gelegar lalu menukik tajam menyikat keheningan. Si Jendol, temanku yang paling lasak di antara yang terlasak, angkat bicara. Lagunya keras melengking-lengking menyindir-nyindir si bocah  penjual roti, kue, dan lainnya.

“ Bu, aku tadi lihat dia masuk kelas sewaktu jam istirahat,” tudingnya penuh sinis.

“ Ah, mana mungkin, mana mungkin !”

“ Ya, mana mungkin dia berbuat sejelek itu !”  kata kawanku berteriak menyanggah.

“ Aku rasa tidaklah mungkin ia yang melakukannya !” bantah si Kokot pula.

“ Mungkin saja, mana ada pencuri yang mau mengaku, ya tidak, Bu !” ujar si Jendol menyerocos-nerocos teru, terus.

“ O ya, apakah memang begitu ??!!”  Guruku balik bertanya diiringi senyumnya yang menawan.

“ Betul, Bu. Kalau ada yang mau mengakui, pastilah penjara penuh, membeludak, melimpah bagai air kehabisan tempat.”

“ E…….., Do, teriak si Yuni kecil.  Enak saja kamu bicara, apa dia itu bertampang pencuri he…….??!!”

Semua diam sejenak. Tenang seperti ada setan yang mau lewat.

“ Yang kutahu, biasanya setiap ayam yang berkotek, dia yang bertelur,”  timpal Yuni sedikit emosi. Terlontar kata-katanya seperti itu karena dia kasihan pada temannya yang cacat.

“ Sudah, sudah, jangan banyak cakap, yang penting ibu minta kejujuran kalian saja. Ingat, Yang Kuasa melihat segala tindak tanduk kalian. Kalian semua tidak bisa dusta. Siapa yang dusta, pasti akan ketahuan dengan sendirinya. Camkan kata-kata ibu. Sepandai-pandai menyembunyikan bangkai, baunya akan tetap terhirup juga. Berhubung lonceng telah berbunyi, ibu akan tunggu jawaban kalian sampai lusa, hari Senin.  Kejujuranlah harta yang paling berharga, ingat itu ! Selamat siang, kembalilah  ke rumah, jangan mampir ke mana-mana lagi, tiba di rumah salami orang tuamu !”kata Bu Guru menasehati murid-muridnya.

“ Baik, Bu. Selamat siang, Bu !” jawab anak-anak serempak.

Ketika pulang, kami saling berbincang. Perasaan bersalah seakan menyelimuti jiwa kami, padahal sebenarnya kami tidak bersalah. Dengan akalnya, si Banu mengajak aku, Yuni, dan Wira ke rumahnya. Ada sesuatu yang akan dibuatnya. Hal itu jelas kami baca pada secarik kertas yang ditulisnya. Menangkap penjahat dengan perangkapnya sendiri.

Betul juga. Hari Senin itu guru masuk kelas lagi. Si Jendol tak ada. Ia lagi bersembunyi di kamar mandi. Mulutnya penuh roti. Mukanya merah kepedasan, lalu pucat ketakutan bercampur malu ketika guru menjemputnya.

“ Oh……, mati aku, ketahuan juga,”  katanya pelan.

Dia pun harus berterus terang di depan gurunya. “ Akulah yang mengambilnya !”

“ Hu……….!!!”  teriak anak-anak lain mengejeknya.

Gemuruh pun menggelegar. Mendengar kami cekikikan, mukanya merah lagi. Ada rasa marah menyelinap dalam lorong jiwanya yang sewaktu-waktu bisa meledak .


Gina Arun adalah anak yang pandai, baik hati, dan tidak sombong. Ia murid kelas lima esde. Suka bekerja dan tidak pernah putus asa. Setiap   pagi sebelum berangkat ke sekolah, ia tidak lupa membantu ibunya membersihkan rumah dan memandikan adik-adiknya. Nah, begitu yang bagus, Dik. Sebagai anak sekaligus kakak kita harus membantu ibu kita. Jangan malas dan harus menjadikan diri kita contoh bagi yang masih kecil. Betul tidak, Dik ?

Hari ini lain dari hari biasanya. Kalau hari-hari sebelumnya dia selalu membelikan obat untuk ayahnya yang sedang sakit dan itu dilakukan setiap pulang sekolah, sekarang ini Gina sedikit kelupaan. Rupa-rupanya kelupaan itu pertanda ia akan berpisah dengan ayah yang dikasihinya. Ternyata dugaanku benar,  Dik !  Lihatlah, ketika anak itu sampai di tikungan jalan menuju ke rumahnya, orang-orang telah berkerumun. Bendera merah telah terpacak di tepi jalan.

Seketika itu juga, matanya mulai memerah dan bintik bendungan mulai menggenangi wajah dan pelupuk matanya yang putih. Jelas terlihat, Dik. Bibirnya kaku tidak dapat berkata sedikit pun. Perasaan bersalah kini menghantui dan menyelimuti dirinya yang masih hijau segar.

Begitu tiba di depan pintu, ia langsung menghampiri jasad ayahnya yang kaku. Gina merintih, menangis menahan pilu yang amat dalam. Seakan-akan hidup ini hampa. Tiada lagi tempat berlindung keluarganya. Tiada pula tempat mengadukan keluh kesahnya kini. Orang yang selalu disayanginya saat ini telah kembali ke sisi-Nya. Innalillahi wa innailaihi rajiun. Itulah kata yang terakhir yang diucapkannya pada hari itu.

Adik-adik manis, untunglah masih ada ibunya meskipun hanya seorang penjual makanan ringan. Dengan penuh kasih ibunya yang telah mulai tua dan keriput itu menyadarkan anaknya dari musibah yang menimpanya. Gina dibelai dan air matanya yang membasahi kedua pipinya yang montok disekanya.

Hujan deras mengguyur bumi ciptaan-Nya. Si kodok berkata bersahut-sahutan. Cacing-cacing turut pula bernyanyi sembari berdoa, “ Selamat jalan saudara baik budi semoga aman dan ternteram.” Mereka semuanya mengiring langkah mengantar kawan ke pembaringan nan abadi.

Di tempat sepi di bawah naungan kemboja, Gina memperhatikan jasad orang tuanya dimasukkan ke liang lahat. Gadis itu …… dan rintik hujan semakin deras namun terdengar pelan. Para bilal perlahan-lahan membuka ikatan yang berada di dekat kepala dan bagian ujung kaki. Tubuh berkain kafan putih itu dibaringkan benar-benar menghadap ke kiblat, lalu ditutupi dengan papan, kemudian ditimbuni tanah, serta ditaburi bermacam bunga wewangian di atasnya. Dia sendirian di situ dan tiada yang menemani kecuali amal ibadah yang pernah dilakukannya selama hidup di dunia. Amal kebajikan yang dibawanya, bukan pula harta.  Anak, istri, dan keluarganya tetaplah ditinggal.

Sebulan setelah ayahnya berpulang, datanglah seorang tamu ke rumahnya. Kebetulan sekali tamu itu masih teman dekat bapak tercinta. Orang tadi…… ya teman dekat ayah Gina, menyampaikan pesan ayahnya ketika masih hidup dulu. Pak Mul, demikian nama tamu itu, dipesan untuk mengawasi kehidupan keluarga temannya. Keluarga yang tidak lain keluarga Gina.

“ Sekarang kalian semua ke rumah Bapak. Rumah di sana lebih besar dan mewah. Kalian bisa berbuat sesuka hati di sana. Kalian mau ……?”tanya Pak Mul.

“ Mau…….., mau…….., mau………, aku mau !” teriak adik Gina yang memang masih membutuhkan perlindungan yang nyaman. Gina melirik ibunya. Ibunya membalas dengan senyum dan anggukan kepala tanda setuju. Akhirnya seluruh keluarga Gina diboyong ke rumah Pak Mul.

“Wah, selamat ya Gina. Selamat ……!” ucap tetangganya.

“Selamat juga ya !” kata yang lain.

“ Selamat di rumah yang baru ya, Gin !” kata teman sepermainannya.

“Jangan lupa dengan kami yang di kampung ya, Gin !” harap mereka.

“Maaf, Gin, aku tak bisa kasih apa-apa, cuma ucapan selamat. Selamat berbahagia, Gin……!” ucap Yuni sahabat kentalnya.

Adik-adik, ucapan selamat itu datang bertubi-tubi pada Gina. Sekejap kemudian   mobil yang membawa  mereka melaju dengan kencang sekali.

Nah teman-teman, apa yang terjadi dan menjelma ke permukaan setelah mereka berada di rumah gedongan…………..???????? Sehari, dua hari, sebulan, dan tiga bulan pertama memang mereka meneguk kenikmatan ini begitu nikmatnya. Tetapi setelah  itu ? Kenyataannya kenikmatan itu hanyalah sekejap saja. Malah sekarang balik seratus delapan puluh derajat. Gelombang pasang air laut seakan-akan mengandaskan kapal keluarga Gina sebelum mereka sempat berlabuh ke dermaga, duri-duri di tebing bukit  menanti dan siap tempur membentuk dan mengoyak kulit yang tiada daya .

Adik-adikku yang manis. Di rumah Pak Mul mereka bukan semakin bahagia, melainkan sebaliknya. Bukan pula keriangan hidup yang diperoleh, tetapi sengsara badan yang membalut di dada. Sungguh kasihan sekali keluarga Gina. Mulai bulan keempat hingga seterusnya terpaksalah Gina yang masih ingusan turut meringankan beban ibunya mengurusi rumah baru yang besar nan megah itu.

Seluruh pekerjaan di rumah itu merekalah yang mengerjakannya. Tiada pandang siang dan malam, letih ataupun dahaga, anak beranak itu terus mengayuh sampan guna mencapai tepian pantai dan berlabuh di dermaga semula.

Ketakutan si ibu dan anak itu terus memuncak tatkala diketahui bahwa istri Pak Mul terkenal akan kecerewetannya. Belum selesai kerja yang satu, mereka sudah harus menamatkan kerja lainnya. Begitulah adik-adikku, hari ke hari yang mereka rambati sampai akhirnya Gina tidak bersekolah lagi.

Suatu hari saat gerimis kecil mengulas senyum, Bu Susi menerima amplop dari Pak Mul. Hatinya berdebar-debar kencang sekali. Nafasnya naik turun. Matanya yang binar sebentar-sebentar terkatup dan terbuka seakan tidak percaya dengan yang dilihatnya. Anak dan ibu asyik terus membaca tulisan yang ada di dalam amplop dengan sesekali melirik kertas hijau bernilai rupiah. Betapa terkejut dan herannya mereka. Uang empat ratus lima puluh ribu itu merupakan hasil penggadaian rumah peninggalan suaminya. Rumah itu telah digadaikan Pak Mul. Bu Susi dan Gina geleng-geleng kepala. Keduanya berkata lirih.” Harganya pasti lebih dari ini. Aku tidak sudi, Mak. Tak sudi…! “ Gina berteriak kecil sembari menangis. Si ibu pun ikut menangis pula, si kecil juga. Semua terisak bagai paduan suara saja layaknya.

Tatkala malam telah larut, anak beranak itu mengambil jalan sendiri. Mereka kabur dari rumah yang sungguh jauh berbeda dengan penghuninya. Ibu dan anaknya itu meninggalkan rumah dengan berjinjit sehingga tidak kedengaran oleh majikannya yang terlelap. Bu Susi dan Gina bersama si kecil lari secepatnya. Harapan mereka sebelum fajar telah jauh dari rumah yang mengerikan itu.  Pagi itu juga mereka terdampar di emperan toko.

Di situ, di tempat yang sepi lagi dingin, mereka bertemu dengan Tini seorang guru sekolah dasar. Seorang guru yang menjadi teman Bu Susi ketika esde dulu. Kepadanyalah mereka buka kartu selebar mungkin. Karena harunya, Tini meneteskan air mata di kediamannya yang damai di lain desa.

Suatu hari kabar mengalir ke desa. Dari radio kecil mereka dengar rumah keluarga Pak Mul terbakar dan menghabiskan seluruh isinya. Termasuk anak-anaknya yang mengalami luka bakar. Lain halnya dengan Pak Mul dan istrinya. Keduanya baru saja mengalami kecelakaan dan kini dirawat di rumah sakit.

Segera setelah mengikuti berita itu, Bu Susi dan Tini serta anak-anaknya membesuk keluarga Pak Mul.

“ Bapak dan ibu, terimalah uang empat ratus lima puluh ribu ini sebagai biaya pengobatan. Roti ini sebagai obat pelepas rindu kami !” kata Gina penuh harap.

Kedua orang kaya itu merasa malu dengan anak sekecil Gina. Akhirnya mereka mengakui kesalahannya telah menjual dan memakan harta anak yatim.

“ Maafkan kami, Gina, Bu Susi…..!” kata keduanya memohon.

Gina membalasnya dengan ucapan selamat karena mereka telah sadar kembali.

Seminggu setelah kepulanganku dari rumah kakek, hari begitu cerah. Panas tidak, hujanpun enggan menyisir bumi. Awan di atas sana bersih. Bersih sebersih-bersihnya. Yang tertangkap mataku hanyalah mentari yang sempat terbahak sembari mempercepat langkahnya. Wajahnya tetaplah ceria seceria badut membawakan gelak tawa. Tak sedikitpun tebersit di benaknya rasa keangkuhan, melainkan kesetiaannya sepanjang zaman tetap dikenang orang. Percaya atau tidak teman-teman? Cobalah tatap muka kawan-kawan di sekitarmu, tetanggamu, dan dirimu sendiri. Cerah bukan?

Kalian kenal denganku, kan? Tubuhku kecil, sama kecilnya dengan tubuh teman-teman yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Umurku baru setampuk pinang. Orang tuaku bilang umur baru setahun jagung, masih muda belia. Aku ini tidak ada apa-apanya, masih bau kencur. Namun begitu, aku punya satu kunci kemenangan. Tekadku bulat dan begitu yakin dengan kemampuanku. Biarpun kecil sekecil cabai rawit, aku tak ingin dikalahkan orang lain. Moto seperti itu penting sekali kawan-kawan. Soalnya, bapakku menanamkan hal seperti itu karena beliau tak suka melihat anaknya tertinggal dengan anak-anak yang lain. Biar kita miskin harta, tetapi tidak boleh miskin ilmu dan kemauan. Meskipun kita orang lemah, namun tidak boleh mempunyai sifat yang mudah putus asa. Tidak boleh cepat-cepat menyerah pada keadaan. Tidak pula berharap selalu menggantungkan hidupnya pada orang lain. Hal semacam itu pula yang mendorong diriku agar senantiasa tidak patah semangat. Pekerjaan orang tuaku yang hanya sebagai guru sekolah rendahan mempertinggi semangatku untuk memacu dalam meraih cita-cita.

Hari itu udara di sekitar rumah mungil tiba-tiba saja berubah. Awan mulai gelap. Kelam menyelimuti permukaan alam. Seakan gelap menyelimuti hati. Bersama dengan itu, keceriaanku berganti kegalauan yang tiada bertepi. Kedua belah mataku mulai memerah menahan lajunya gelombang badai. Jiwaku semakin pilu, sedih membalut hatiku. Hatiku sedih menjulang langit. Betapa tidak begitu, kedua adikku yang meminta uang guna bayar sekolah ternyata tidak mendapat jawaban dari pengasuh kami orang tuaku sendiri. Semakin perih hatiku mendengar jawaban mereka. Namun apa hendak dibilang, memang telah suratan takdir bagiku. Bapakku belumlah lebih kantongnya. Ia tidak beruang hari itu. Maklumlah sendiri, suasana dalam keadaan bulang sedang hamil tua.

Sebagai seorang kakak, perasaanku timbul seketika. Aku merasa kasihan sangat pada kedua adikku. Aku ingin duka itu biarlah aku yang menanggungnya. Janganlah mereka yang masih imut-imut sangat yang memikulnya. Tidak pantas, kan?

Secepat langkah kudekati kedua adikku.  Kuelus-elus kepala mereka. Ternyata teman-teman, belaian kasihku seakan-akan sanggup menghilangkan duka lara. Mereka tentunya yakin dan percaya bahwa aku akan sanggup mengubah suasana. Kukatakanlah bahwa jika aku telah bekerja dan mendapat uang yang cukup, aku tentu akan melunasi kebutuhan mereka. Di samping itu, kuharapkedua adikku bersabar hendaknya serta selalu ingat pada Tuhan. Allah yang membagi rezeki kepada kita hamba-Nya yang selalu ingat pada janji-Nya.

Sungguh kawan-kawan, mendengar jawabanku tadi, hampir saja kedua tangan bapakku yang kasar melayang membentuk lukisan indah di kedua pipiku, yang mungkin sakitnya tidak terkatakan lagi. Namun keberuntungan masih memihakku. Alhamdulillah bapakku masih sadar dan selalu ingat terhadap kata-kata yang sering diucapkannya. Kita harus selalu sabar dan tawakal kepada-Nya setiap datang penderitaan.

“Mengapa kamu lakukan semua itu, Nak?” Beliau bertanya padaku sambil mencium pipiku anak yang dikasihinya. Seketika menetes hujan kecil-kecil dari balik kelopak matanya.

Dengan penuh haru kujawab pertanyaan itu. “Aku…….., aku ingin meringankan beban bapak ibu yang sudah semakin berat.  Aku tidak ingin….adik-adik terlantar karena aku. Aku ingin melihat mereka selalu ceria. Muka tidak pucat dan baju yang dikenakan tidak kusam. Gembira dan dapat bermain dengan teman-teman yang sebaya dengan mereka.”

Ibuku, orang yang melahirkanku, yang membesarkanku, yang mengikuti jawabanku, tersenyum bangga. Senyumnya begitu menawan. Oh……… indahnya dunia dengan senyum seorang ibu. Keindahan itu semakin tampak nyata dan jelas dipandang ketika dengan rasa kasih didekapnya kepalaku ke pangkuannya, sejuknya tidak bisa terkatakan lagi teman-teman.

“Mukjizat apa gerangan yang telah menyelinap di lubuk hati anakku oh Tuhan…! Tidak ada yang bisa kuucapkan lagi pada-Mu Tuhan selain terima kasih dan rasa syukurku. Yang kutahu pasti ombak kehidupan yang masih amat ganas itu akan dihalaunya. Sepertinya anakku ingin menggapai bulan pada malam hari. Meraih bintang dengan seribu janji. Kan menjadi lilin bila malam singgah di ambang kedamaian. Mungkinkah masih ada perahu yang akan mengajaknya pergi?”

Belaian kasih orang tuaku yang begitu membahagiakan akan kuingat dan kukenang sepanjang dunia masih bisa kutatap. Kuhargai jerih payah mereka dan kuteladani sikap dan tanggung jawab yang telah ditunjukkannya padaku.

“Ya Rabbi….., lindungilah mereka, kasihanilah keduanya sebagaimana mereka telah mengasuhku waktu kecil.  Rabbi Tuhanku, tunjukilah pada mereka jalan yang Kau ridhoi, jalan yang lurus penuh kebahagiaan. Izinkan aku ya Rabbi, membantu mereka menyingsingkan lengan baju meringankan derita. Tuhan, kebulkanlah permohonan dan doaku hamba-Mu yang tidak memiliki apa-apa ini. Engkaulah yang bisa membantuku. Engkaulah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang.  Amin….!”

Selang beberapa waktu sesudah itu, setahun setelah aku mengabdi membantu Bu Siska membuka kedai nasi, walau tidak sehari penuh kuhabiskan waktuku, hanya setengah hari memang, tetapi itu telah cukup membungakan hati orang tuaku, memuaskan mereka. Bahkan kini burung-burung yang bertengger di ranting kayu bisa menyuarakan kicau merdunya lagi. Daun-daun tidak lagi berguguran jatuh ke bumi, melainkan batang-batang kayu yang tadinya kering, kini mulai bertunas kembali. Beban derita sudah agak ringan tidak berat seperti dulu lagi. Aku berhasil menduduki puncak kelas meski tidak selalu nomor wahid sambil bekerja sampingan.

Kemenangan yang kuraih, yang telah lama kunanti dan kuimpikan, semakin membuatku percaya diri dan tidak melupakan atas kebesaran Tuhan. Di mana saja, kapan saja, aku selalu mengasah diriku dengan mutiara ilmu dunia dan akhirat, serta kucoba mendarmabaktikan ilmuku untuk orang banyak. Hari-hari kemenangan dan kebahagiaan tidak ingin kulewati begitu saja. Aku masih tetap bekerja di kedai Bu Siska yang telah kuanggap seperti ibuku sendiri. Ibu yang juga sayang dan penuh perhatian padaku.

Hari itu hari Minggu. Aku tidak membantu Bu Siska berjualan nasi. Bukan karena malas, tetapi aku sedang pergi jauh. Pergi ke bilik perawatan guna menjenguk langgananku yang tengah mendapat musibah. Di rumah sakit yang indah nan megah itu tanpa disuruh oleh siapapun aku langsung datang ke laboraturium untuk menyumbang darahku agar nyawa Pak Bandi selamat dari maut yang mengintainya.

Orang-orang pada heran. Mata mereka kayak jelalatan. Ibarat singa yang lagi mengintai mangsa. Mereka bukan mencari-cari kesalahan, melainkan kagum pada keikhlasanku. Aku pun begitu. Kusambut kebaikan mereka dengan senyumku. Senyum seorang anak yang masih mentah dan belum banyak makan asam garan dalam menikmati pahit getirnya kehidupan. Senyum dikulum sebagai pengobat luka. Senyum yang hanya ingin mencari pahala. Maukah kawan-kawan mengikuti jejakku?

Duh teman-teman, tak dinyana dan tidak pula disangka-sangka, setelah sembuh dari sakitnya, Pak Bandi mampir ke rumahku. Rumah yang tidak besar dan tidak pula kecil, namun cukup untuk berlindung dari sengatan matahari dan kuyubnya karena hujan.

Di rumahku yang sederhana, orang kaya itu duduk di dipan kecil kesayanganku. Di situ, di tempat itu, dia merenungkan diriku si bocah cilik yang tengah memolesi karya ajaibku.

“Siapa yang mengajari kamu membuat hiasan dari triplek ini, Nak?”

“Guru saya, Bu Lastri namanya.”

“Sungguh, sungguh luar biasa. Kerjamu rapi dan menarik minat orang. Apa rencanamu selanjutnya tentang hasil karyamu ini, apa cukup sampai di sini saja atau masih punya rencana lain?”

“Saya akan terus berkarya, Pak. Hasil kerjaku akan saya jual. Sebagian akan saya gunakan untuk kebutuhan hidup keluarga, sedangkan sisanya ditabung.”

Pak Bandi menggeleng-gelengkan kepalanya seperti setengah tak percaya dengan jawabanku. Dalam keadaan jongkok beliau memujiku. “Bagus, ternyata kamu anak yang pintar menghemat. Bapak salut padamu. Sekecil begini kamu sudah bijak, apalagi kalau besar nanti, mungkin bisa jadi ahli ukir-mengukir. Satu lagi ingin bapak katakana, hemat itu bikin kita kaya, Ri. Siapa yang lihai menggunakan waktu, ia pasti beruntung besar. Siapa yang menyepelekan atau menyia-nyiakan waktu akan rugi merana. Rugi serugi-ruginya. Ibarat punya alat tetapi tidak mampu menggunakannya.

Lelaki sebaya bapakku itu merogoh-rogoh koceknya. Tahukah teman-teman, apa yang lagi dicarinya?

“Uang dong……!”

“Mungkin juga, tetapi aku rasa bukan.”

“Lantas apa?”

“Ri, terimalah uang ini sebagai penambah tabunganmu!” Pak Bandi menyerahkan beberapa lembar uang padaku dengan penuh harap.

“Terimakasih, Pak. Semoga Yang Kuasa selalu menambah rezeki orang-orang yang sering menggunakan tangannya di atas.”

Aku dan keluargaku merasa bahagia mendapat bingkisan yang tak terduga. Kebahagiaan itu tidaklah kurasakan sendiri. Aku rasakan juga bersama teman-temanku. Di rumahku yang sederhana, aku menghidangkan makanan untuk anak yatim piatu, bercanda punuh suka. Bahagia yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Makan enak sampai kenyang tetapi ingat pada aturan agama.

Pengemis Tua

Saat senja menampakkan dirinya, aku sedang duduk santai menikmati hidangan sore bersama keluarga. Terdengar olehku kicau burung menyanyikan lagu kerinduan memelas jiwa. Rindunya burung-burung pada sanak keluarga. Mereka ditemani cicit anak ayam yang sibuk pulang ke kandang. Tawa mereka pun beda. Ayam-ayam piaraan tetangga bersorak-sorai sebab sejenak lagi kenduri keluarga dimulai. Burung-burung ciptaan-Nya hanya bisa menatap kosong menyaksikan makanan banyak mubazir.

“ Oh……, bagi-bagilah rezeki kalian ……!” teriak burung-burung.

“ Hai kawan-kawan, biarkanlah mereka berpesta, sebagai gantinya dengarlah nyanyianku yang bikin kita semuanya senang !” teriak kodok-kodok di samping rumah.

Saat itu pula, tanpa kusadari butir-butir salju mulai mencair mengiris jalan menuju lembah nan indah. Ya….. titik jeritan kasih pun mulai membasahi kedua pipiku.

“ Apa gerangan ?”

“ Oh, pilunya hati ternyata tidak bisa diobati oleh seorang dokter manapun.”

“ Kenapa kamu ? Apa yang berkecamuk dalam pikiranmu ? Apakah kamu sedang ditinggal pergi orang tuamu ? “ Suara-suara aneh itu pun menggilirkan pertanyaan-pertanyaan di daun telingaku.

“ Kasihan, aku kasihan sekali, sedih !”

“ Kasihan dengan siapa ?”

“ Hei, kita tidak boleh bersedih benar, cobalah bahagiakan dirimu sendiri !” teriak suara yang lain.

“ Sudah, sudah, jangan sedih, aku bisa membahagiakan kalian !”

“ Jangan ragu, jangan turuti nafsu kebaikanmu itu, ayolah ikut aku !”ujar suara-suara itu lagi.

“ Bagaimana tidak sedih dan terkoyak-koyak hatiku menatap sosok bayang pengemis tua renta menggapai-gapaikan tangan terkasih mengharap jasa baikku demi hidup hari esok. Dia datang menghampiriku. Mulutnya komat-kamit. Orang tuaku bilang, pasti dia sedang berdoa. Aku tidak tahan melihatnya lama-lama.”

“ Sudah, sudah, tak usah kaupikirkan orang tua itu. Kan salahnya sendiri. Kalau aku, boro-boro membantunya.”

“ Tidak……., tidak…….., jangan ganggu aku ! Hatiku berkata aku harus menolongnya. Aku tidak bisa membiarkannya merana seperti itu. Aku tak tahan.”

“ Bodoh benar kamu. Itu namanya menyusah-nyusahkan dirimu saja, tolol !” Suara-suara itu semakin gencar memburuku. Masing-masing ingin menang.

“ Bagaimana ? Bagaimana ? Kau masih juga kasihan ?”

“ Apa untungnya kamu menolong dia ?”

“ Ya, apa untungnya ?”

“ Kamu bukan semakin untung, melainkan menjadi rugi, tahu  ?”

“ Ah, masa bodo dengan kalian. Yang penting, kata hatiku telah bulat. Tidak ada yang bisa mencegahku lagi. Aku harus menolongnya. Menurutku, itulah yang terbaik daripada membiarkannya tetap sengsara.”

“ Duh, teman-teman. Cobalah tatap, jalannya itu !”

“ Beri saya sedekah, Nak. Belum makan dari pagi. Tolong, Nak……sesuap nasi dan seteguk air !” pinta pengemis penuh iba.

“ Hai teman-teman, rupanya dia belum makan ! Ha……ha……ha……!”

“ Kalau anak itu membantunya, bodohlah dia !” teriak suara yang lain.

Tanpa pikir lagi kuajak kedua kakiku melangkah ke dalam rumah, sementara dia kupersilakan duduk di beranda depan.

“ Wah, bisa gawat kita. Apa pula yang akan dikerjakannya di ruang makan. Jangan-jangan hendak membagi rezeki. Celaka, orang lain dapat makan, aku tidak kebagian. Ayo teman-teman, kita goda lagi dia!” teriak si raja usil.

“ Duh, mau-maunya kamu menyediakan makan untuknya. Bodoh amat. Lihatlah, perutmu saja masih perlu diisi, eh malah menyibukkan diri untuk orang lain. Apakah tidak baik kamu makan sendiri ?”

“ Betul kata kawanku tadi. Aku gemuk karena banyak makan. Kasihan kan kalau ibu telah bersusah payah menyayur e….ternyata hanya untuk beri makan orang lain ! Contohlah aku !”  Suara-suara di daun telingaku semakin merajalela.

Biarlah kawan-kawan pada ngomel terus, aku tidak peduli.

Sesaat kemudian.

“ Kok banyak sekali, Nak ? Engkau sungguh baik sekali. Kalau boleh aku tahu, siapa namamu, Nak ? “ pengemis itu bertanya kepadaku. Ia terheran-heran memandang piring di depannya yang penuh nasi, lauk-pauk,  dan secangkir air. Aku memandanginya terus sampai-sampai lupa terhadap pertanyaan yang diajukannya.

“ Siapa namamu, Nak ? “ tanya pengemis itu sekali lagi.

“ Sari, Pak. “

Kutatap  lagi dirinya sepuas-puasku. Lihatlah teman, bajunya lusuh seperti tidak terawat lagi. Kumal dan……..Rambutnya kusut seribu belah. Sorot matanya seakan tidak punya harapan lagi. Kedua kakinya yang telah keriput tampak jelas tidak beralas dan bersarung. Pipinya sedikit menggambar kepulauan yang perlu mendapat perhatian. Makannya begitu lahap sekali membuatku menjadi senang tak terkira. Aku semakin akrab dan ingin tahu lebih banyak lagi.

“ Mengapa Bapak bisa begini ?” tanyaku heran.

“ Dulu, ketika muda, aku orang senang, penuh kegembiraan.”

“ Nah, apa kubilang, dia anak orang gede kan ?” kata suara itu menggoda lagi.

“ Itulah kamu tidak mau dengar cakap kami beberapa menit yang lalu. Kalau kau ikuti kata-kata kami, pasti………”

“ Ah, masa bodo, kau kaulah, aku ya aku. Aku tidak mau menuruti kata-kata kalian yang menyesatkan diriku nantinya.”

Eh, teman-teman. Suara-suara itu terus saja menguntit. Mereka tak bosan-bosan meskipun aku coba menangkisnya. Kayaknya suara itu ingin mengubur diriku hidup-hidup. Lucu ya ……?

“ Sekarang semua tinggal kenangan. Diriku telah renta dan mungkin sebentar lagi magrib akan menjemputku. Aku tiada sanak saudara. Sepanjang jalan kerjaku kini hanya meminta-minta sambil menyorongkan kaleng susu kosong memohon belas kasihan. Setiap hari badanku kuyub bermandikan hujan badan sendiri dan dari langit serta terik mentari yang menyengat kulit. Pondok  juga tiada ingin singgah padaku, apalagi sawah ladang. Terkadang aku tinggal di emperan toko. Tak seorang pun yang………Itulah aku karena salahku sendiri, bukan salah bunda. Memang begitu sudah goresan pena Illahi atas diriku. Hidup melunta-lunta, dicemooh, dan dihina. Dulu, ketika orang tuaku senang, aku lalai dan malas belajar. Akhirnya ya begini. Untung ada Nak Sari. Kalau tidak, mungkin  lelah semakin membuatku tak berdaya,  ”  jelas pengemis itu.

“ Bapak tidak perlu menyesali diri. Bagaimana, Pak, apa Bapak mau tinggal di rumah saya ini ?” kataku menawarkan jasa baikku.

“ Duh, mau-maunya dia menawari begitu.”

“ Eh, kok kamu mau ikut-ikut repot mengurusi si Tua Bangka itu. Bapak kamu saja tidak kamu urus, e…malah sok jadi dewi segala. Urus dirimu sendiri kan bagus. Ayolah, tinggalkan dia !”

“ Hei, Usil, sekali lagi kamu mengganggu aku, kubakar kamu dengan satu ayat !” bentakku pada suara-suara itu.

Suara-suara itu pun kemudian menghilang.

“ Bagaimana, Pak, mau ?” tanyaku meyakinkan.

“ Ah, tidak usah, Nak. Bapak malu rasanya. Nanti menyusahkan ibu bapak anak sendiri.”

O ya teman-teman. Sebelum pergi, aku masih sempat membungkuskan pakaian-pakaian yang sudah tidak terpakai lagi namun masih bagus. Khususnya pakaian bapakku. Masih baru, bahkan ada yang belum pernah dikenakan. Kelak bisa menggantikan pakaiannya yang telah lusuh. Mungkin sudah sekian kali tak dibersihkannya atau diganti. Kuberikan semua itu dengan ikhlas.

Pengemis itu berlalu meninggalkan aku dengan senyumnya yang sangat penuh persahabatan.

Bapakku gembira hatinya tatkala kuberikan bingkisan kepada orang tua tadi. Bahkan ia masih menyempatkan diri memberinya lagi untuk oleh-oleh berupa makanan tambahan untuk di jalan.

Kutatap lagi wajah tua itu sampai menghilang di balik awan yang temaram. Selamat jalan saudaraku……………….!!!!!!!!

HONDA SAHABATKU HONDA CINTAKU

“ Pa……, Pa….., beli honda ya, Ai mo ikut ma Papa !”
Itulah kalimat yang muncul dari bibir mungil anakku Swastie saat ia lihat tetangga sebelahku pulang dengan hondanya. Aku spontan berdecak, jiwaku bicara. Anak sekecil dia sudah dapat mengerti dan menilai sepeda motor yang namanya honda. Weleh……….weleh………..!
Jika kukenang masa awalku beli honda, ada rasa lucu, nekat, dan bahagia berbaur menyatu mewarnai kehidupan keluargaku. Aku dan istriku Arlinawaty memang benar-benar nekat. Betapa tidak begitu, coba bayangkan, aku seorang guru sekolah dasar yang bergaji hanya seratus sepuluh ribu per bulan kok nekat beli Honda Astrea yang waktu itu masih dua jutaan harganya. Simpananku juga nggak ada. Makan saja masih ngirit. Namun, karena hatiku lebih kuat bicara dan ingin membahagiakan keluarga, aku pun berupaya keras bagaimana bisa beli dan naik honda. Seketika itu aku anjurkan istriku ikut arisan keluarga di lingkungan Rancong tempat tinggalku.
Bener lho………, ini nggak bohong. Hari itu istriku tersayang pulang dengan membawa uang tiga ratus ribu rupiah. Spontan saja kubilang, “ Ma, ayo kita beli kereta (sebutan untuk sepeda motor di tempatku) sekarang !” Tak dinyana dan tidak pula disangka-sangka, istriku setuju, sebab memang telah lama menginginkannya.
Hari Minggu sore itu kami ke Lhokseumawe. Tujuannya hanya satu, ke PT Capela dealer Honda satu-satunya di kotaku. Istriku girang bukan main, raut mukanya berkaca-kaca, senang membubung langit tiada terbilang.
“Mudah-mudahan dealernya mau ngasih kita kredit ya, Pa !” ucapnya padaku selama dalam perjalanan .
“Semoga aja, yang penting, niat kita baik !” kataku tanpa ragu sedikit pun.
Setibanya di dealer Lhokseumawe, kami langsung menyampaikan niat pada seorang pegawai yang ada di situ. Ternyata, sambutannya luar biasa. Ramah dan menyenangkan. Kami kemudian diminta melihat dan memilih kereta mana yang kami senangi.
Wou……….., istriku berdecak kagum, bingung, sekaligus gembira menghias alam. Soalnya, di PT Capela dealer Lhokseumawe tersebut dipajang beraneka corak warna honda. Semuanya bagus, baru, dan memikat hati, yang bikin ngiler cepat-cepat membeli.
“Pa, Mama masih bingung, mau beli yang mana, barangnya bagus-bagus sih. Harganya juga terjangkau ya, Pa !” bisik istriku saat itu.
“Murah dan mutunya baik. Begitulah daya pikat honda !” kataku meyakinkan istriku.
Kenyataan memang, itulah salah satu cara Honda menarik minat pembeli, pelanggan, dan pencintanya. Honda memasang tarifnya tidaklah terlalu tinggi, sehingga orang-orang berekonomi lemah seperti aku, bisa juga menikmati perjalanan dengan Honda.
Dalam hal urusan pembelian, janganlah pernah ragu. Hondalah nomor satu. Cepat urusannya, puas hasilnya. Itu yang kurasakan waktu itu. Beli Honda dengan biaya sendiri, nyicil lagi, dan tidak pula memberatkan. Alhasil, aku dan istriku pulang ke rumah dengan gembira, berboncengan dengan Honda baru, dan plat baru.
Sejak itu pula, resmilah aku punya Honda sendiri. Walau nyicil dua tahun dengan bayaran tujuh puluh delapan ribu per bulan, aku merasa sangat bahagia dengan kendaraanku, Honda Supra keluaran tahun 1985.
Kini, setelah dua puluh dua tahun aku berkenalan dengan Honda, tahulah aku kalau Honda memang jempolan, sahabat setia yang nggak pernah meminta belas kasihan, tetap bersikap jantan meskipun dihadang musuh pendakian yang terjal lagi mengerikan. Karena itulah aku katakan bahwa Honda bagiku adalah saudaraku, sahabatku yang tak mungkin menjauh dari kehidupanku.
Ke mana pun aku dan keluargaku pergi, kami tetap dengan Honda. Ibarat pepatah, kerja adalah nafasku, Honda itu jantungku. Honda dan diriku telah menyatu kalbu yang tidak mungkin terpisahkan walau termakan waktu. Siapapun tidak kurelakan mengotori sahabatku. Siapapun tidak kuizinkan mempreteli, melepas, menggerogoti tubuhnya. Aku tidak ingin hondaku jadi jelek, kering, dan tidak bernyawa. Karena aku sudah amat mencintainya sedalam jiwaku dan menyayanginya sebagai bagian tubuhku sendiri.
Saking cintanya aku pada Honda sahabatku, aku tetap menjaga dan merawatnya sendiri. Seminggu dua kali aku memandikannya dengan ditemani anakku Swastie. Kuberi dia wewangian sehingga harum menyibak permukaan alam. Kuelus-elus tubuhnya dengan lembut bagaikan kasih seorang ibu kepada anaknya sendiri kerena aku tidak ingin dia tersakiti. Semua kulakukan dengan penuh keikhlasanku. Ya……… seperti yang dianjurkan petugas dealer Honda waktu pertama kubeli dulu. “Jika Bapak ingin hondanya awet, tahan lama, dan tidak merengek-rengek, maka rawatlah dengan baik, servicelah yang teratur di tempat khusus Service Resmi Honda.”
Cintaku pada Honda sahabatku tidaklah akan pernah pudar. Tidak ada yang dapat menandingi rasa cintaku padanya. Buktinya, setiap aku akan membawa dia jalan-jalan jauh bersama keluargaku, sebelum berangkat, aku cek dulu sahabatku, apakah dia sakit atau tidak. Aku pun tetap memberinya makanan oli baru buat dirinya lebih dahulu. Aku nggak ingin dia nggak sampai di tujuan. Kuperhatikan segala lekuk tubuhnya, jika ada yang tidak beres dengannya, kuganti dia dengan onderdil yang baru sehingga jalannya tidak akan pincang.
Begitu pun ketika aku berangkat ke tempat kerjaku. Sahabatku tetap ikut. Bagiku pergi dengan Honda sahabatku sungguh nyaman. Selain berteknologi tinggi, sahabatku juga mudah dikendalikan. Karena begitu mudahnya, aku nggak pernah telat sampai di kantor. Aku juga nggak pernah mengecewakannya. Dia pun tidak pernah mengecewakanku. Sekali lagi kukatakan bahwa aku tidak pernah disakiti sahabatku Honda. Dialah sahabatku yang ramah lingkungan. Sahabatku yang mementingkan keselamatan dan kenyamanan.
Bagiku Honda merupakan bagian dari hidupku, penunjang sukses keberhasilan kerjaku, teman dalam suka dan duka bersama keluarga. Honda, engkau jantung hatiku, yang menyemangati aku dalam setiap tarikan nafasku sehingga aku tetap mencintaimu. Honda sahabatku, Honda cintaku dalam seumur hidupku. Terima kasih Honda, engkau telah sudi menemani hari-hari hidupku dan keluargaku.

Akibat Melihat ke Atas

Udara pantai begitu bersahabat mendayu-dayu mengiringi musik alami. Pasir putih basah menyeringai mengulas senyum mengiringi ikan-ikan kecil menari dipermainkan musik samudera. Semilirnya angin meneguk kemanjaan insan-insan di seputarnya. Oh, indahnya tepian pemandian membalut luka seorang lelaki tengah baya yang sedang mengayuh sampan demi perut sejengkal.
Tangan kecilnya terus menari-nari tanpa menanti waktu yang menggulir mengikuti larinya masa. Senyumnya telah membuka lembaran baru keluarga. Betapa tidak, istri terkasih tengah membuka warung kecil guna menambah penghasilan. Anaknya giat meraih cita-cita. Tidak seorang pun terlena dengan mimpi-mimpi indah di siang bolong. Sedikit saja lalai, mereka akan berteriak keras mengusir lolongan anjing yang menakutkan.
Riak laut yang tadinya tenang, kini berubah jadi musuh bagai api yang siap menelan mangsanya. Lelapnya para nelayan di atas kapal sedikit mulai terusik dengan munculnya tamu baru di kampung tercinta. Bahkan para istri sedang sibuk menyiapkan lomba mengukir keindahan di leher masing-masing. Mereka terus bersaing mengejar kemilaunya bintang yang tak mungkin dapat tergapai oleh keringat para suami yang menentang maut di antara badai di tengah laut lepas.
Tak ingin dikatakan kuno dan ketinggalan zaman, anak-anak ingusan siap merentangkan sayap-sayapnya menyibak dunia menatap layar kaca di rumah tetangga berpunya.
“ Hei, teman-teman. Sini, main ke sini. Kalian boleh dengan bebas main di rumahku yang besar ini. Ayo, apalagi yang kalian tunggu. Cepat, sini rame-rame, kan enak !” ajaknya suatu kali saat baru beberapa hari menetap di situ.
Anak-anak kampung seusianya yang masih sekolah dasar itu pun berkumpul, bergabung, berteriak histeris, kegirangan, dan kayak kesetanan begitu mendapat kesempatan main. Wou….., asyiknya……! Boleh jadi seharian mereka main. Kejadian itu berlangsung begitu cepat dan bertahan lama.
Siang hari, tak pandang terik maupun hujan, mereka diburu mainan tamiya, gembot, spika, ps, dan lainnya. Anak-anak nelayan tak ambil pusing lagi pada kemampuan ayah-ayah yang bergelut mencari nafkah di tengah samudera. Yang penting, bisa main. Sebab, anak tetangga yang baru itu, mainannya melimpah ruah, berjibun, berserakan, menggerakkan air liur teman sebaya. Tak dinikmati mubazir menganga, diikuti seleranya sengsaralah pasti melekat melilit leher sendiri.
Begitu pula dengan istri warga kampung. Ibu-ibunya pada belomba-lomba menghiasi leher, tangan kanan dan kirinya. Mereka sampai begitu tergiur dan bernafsu memilikinya kerena yang punya gedongan itu pintar mengambil hati.
“ Ayo, ibu-ibu, belilah, nggak mahal kok! Kalau ibu-ibu nggak bisa kontan, ya nyicil juga bisa, langsung saja dengan saya. Tidak perlu pakai uang muka lho, Bu. Biar saya nanti yang kontanin duluan, ya Bu, ya ? Nggak usah takut, yang penting, kita semua bisa menikmatinya, biar nggak dibilang terlalu kere. Mau kan, Bu ?” katanya dengan lembut.
Wanita-wanita kampung yang umumnya berpendidikan rendah itu akhirnya lunak juga. Semuanya pingin memilikinya.
“ Ah, biar mahal, yang penting kita kan bisa nyicil !” kata seorang ibu dengan entengnya..
Sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin pas diberikan kepada mereka yang tidak pernah merasa puas atas nikmat yang diberikan Tuhan.
“ Bu, belikan mainan kayak orang tetangga yang baru itu ya ?” tanya seorang anak pada mamaknya yang sedang menggoreng pisang untuk dijual.
“ Memangnya gaji bapak kita gajinya gede…….? Kalau gede seperti orang kaya itu, baru beli mainan, makan saja masih hitung-hitung, eh………kamu malah mau beli tamiya segala. Tahu kamu berapa harganya………?” kata seorang ibu yang tahu kerja suaminya dengan mata melotot.
“ Kan bisa nyicil, Bu ? Orang itu bisa beli, kok kita tidak……..??!! “
“ Betul kata ibumu, Nu. Kita jangan sekali-kali lihat ke atas, tapi cobalah tengok ke bawah. Kalau menuruti nafsumu, bisa-bisa nasib keluarga kita terperangkap tengkulak. Hancur……….! Lihat tetangga kita yang jualan itu, mereka terus gaduh tak hentinya,” kata ayah yang bijak.
Benar, Pak Nelayan yang istrinya jualan itu bingung. Tiap saat para tentenir datang ke rumahnya menagih hutang. Kepalanya pusing tujuh keliling memikirkan istri dan anaknya yang kini sedang naik daun mengikuti irama kehidupan si kaya.
Setiap pulang dari melaut, si istri terus nyosor minta dibelikan gelang. Padahal, di lehernya telah melilit benda kuning hasil keringat sendiri. Mengapa masih kurang………..?
“ Entahlah.”
“ Ingin pamer……?”
“ Entahlah.”
Yang jelasnya, si istri mengumbar senyum manakala suami berangkat ke kota memenuhi maksudnya. Keceriaan rupa mengumbar kabar. Tetangga pada tahu bahwa sebentar lagi si empunya kedai akan kaya mendadak.
“ Betulkah ?” tanya para tetangga penasaran.
Kita lihat saja apa yang akan menjelma ke permukaan. Apa yang terjadi kemudian harus kuceritakan.
Hari itu suaminya pulang dengan wajah lain. Di tangannya melekat bungkusan tebal lagi berat.
“ E………e………..e………., Mak………, bapak pulang ! Bapak pulang……..,Mak..! Bapak bawa bungkusan besar, Mak !” Si anak lari menyongsong ayahnya. Gembira benar hatinya. Ia melompat ke sana-sini persis kayak orang kesetanan.
Istrinya yang telah menanti lama bergegas tak ingin ketinggalan.
“ Untukku, Pak ?”katanya dengan hati berbunga-bunga.
Bapak hanya manggut. Kotak langsung dibuka. Si anak sudah nggak sabar, ia ingin cepat-cepat melihatnya, tetapi lapisan bungkusnya banyak sekali Selapis, selapis, dan terus begitu samapai kotaknya tinggal kecil persis kayak kotak rokok.
“ Apa isinya ya ? Ha……, sebuah rantai besi kecil dan secarik kertas berisi surat penyegelan tanah !” kata anaknya heran.
“ Untuk siapa, Pak ?” tanya si ibu pula.
“ Ya……, untuk kamu !”
“ Ooooooo……mati aku !” Senyumnya lenyap berganti rentenir bersorak.

1. Bermegah-megahan telah melalaikan kamu
2. Sampai kamu masuk ke dalam kubur.
3. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),
4. Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim,
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin
8. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).